Rama
Ia mengajarkanku untuk tidak mencela makanan. Ketika itu, Ia membawa makanan hasil kenduri "Ih, berkatnya jelek", kataku dengan polosnya. Ia sontak menegurku, "Hush, ora oleh kaya ngono!".
Kalimat singkat yang masih aku ingat sampai sekarang bahkan aku bisa membayangkan kejadian kala itu.
Ia mengajarkanku berusaha keras sedari kecil. Hampir setiap hari, Ia menitipkan pesan pada Ibuku, untuk menyusulnya di ladang. Andai saja kala itu aku sudah mengenal kata 'mager'. Pasti aku akan jawab, "duhhh mager banget". Tapi yah, walaupun mengeluh, aku tetap akan menyusulnya di ladang. Ada banyak sekali aktivitasku di ladang, bergantung dengan musim. Terkadang aku membantunya menanam benih, membersihkan gulma, memanen, atau membantunya membuat batu bata. Ada satu pelajaran yang aku ambil di sana, bahwa bertani itu melelahkan, aku berpikir, ketika besar kelak, aku harus menempuh pendidikan tinggi supaya bisa bekerja di kantoran yang ber -AC. Sederhana sekali cita-citaku. Tidak terlintas satu profesi apapun, yang terpenting aku tidak bekerja di ladang yang harus terkena sinar matahari langsung.
Ia mengajarkanku apa itu berhutang. Isu keluarga aku adalah langganan utang di warung lek Marni mungkin sudah menjadi perbincangan seantero Krajan. Dan karena itulah terkadang teman-teman sepermainanku merendahkan aku soal materi. Tapi aku tidak masalah dengan itu.
Ia mengajarkanku untuk bahagia saat kekurangan pun. Pizza. Adalah makanan yang aku inginkan ketika kecil.
"Kamu pengen makan pizza?" tanyanya.
Aku jawab, "iyaa".
"Pejamkan mata, dan bayangin kamu lagi makan pizza".
Sejenak aku pejamkan mata sambil membayangkan sedang mengunyah pizza.
"Sudah makan pizza kamu Ri?"
"Iya sudah"
Ketika belum bisa mendapatkan apa yang aku mau, ia mengajarkanku untuk membayangkan saja dulu. Yang kurasa saat itu, aku tetap bahagia. Bahkan, ketika sekarang aku mengunyah pizza gratisan dari kantor, rasanya tidak sebahagia dulu ketika baru bisa ku bayangkan saja.
Ia mengajarkanku matematika. Masih aku ingat betul ketika ia mengajarkanku hitungan matematika di depan teras. Ia nampaknya jago sekali dengan matematika, tak heran si karena hobinya adalah ngerumus di kamar (ngerumus: bagi yang tau aja).
Ia mengajarkanku untuk memberi. " Ketika kita sedang di atas, bantulah mereka yang sedang di bawah. Roda itu berputar, maka baiklah saat di atas supaya jika saat di bawah setidaknya ada yang membantu karena mengingat kebaikan kita ketika dulu. Bukan berati pamrih ya".
Ada banyak sekali yang ia ajarkan. Kami memang kekurangan dalam hal ekonomi, tapi kami masih memiliki hati untuk mensyukuri apa yang sudah dan belum kita punya. Kini, nampaknya tubuhnya sedang memintanya untuk beristirahat, wajahnya pucat, cara bicaranya sangat lemah tak berdaya.
Aku sedang berjuang, berjuang untuk kebahagiannya dan pasangannya. Membawa mereka ke tempat terindah di bumi. Tempat yang pastinya menentramkan hati siapapun yang bersimpuh. Tempat yang mampu mengalirkan segala hitam yang terpendam dalam diri. Tempat yang mempu menggetarkan jiwa bagi ia yang secara sadar merendahkan diri pada Tuhan. Doaku tiada putus untuknya yang telah berjuang untuk menjunjung diriku.
Komentar
Posting Komentar