Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2021

Karat

 Kayu, di samping rumah, ditancapkan atau tertancapkan paku. Waktu, menyesakkan, mematikan. Dihujani kesenyapan, terpapar segala prasangka dalam karat.  Semesta membantunya, paku itu tercabut. Tapi tersisa lubang dan karat. Beritahu padaku bagaimana mengembalikan kayu itu seperti semula? Ia kehilangan kepercayaan kepada segala mata, tak hanya kepada tangan yang  menggenggam palu.  Entah, apa ini bentuk sangkalan dalam penerimaan. Masih tersisa ketakutan, apakah ia kan memaku kayu itu kembali? Lagi, ini adalah prasangka yang mulai terbangun. Semesta pun tau, tangan itu tak lagi menggengam palu. Tangannya tlah lembut menyapu segala luka. Tapi lubang dan karat itu terus menggali segala prasangka.  Bagaimana hendak melangkah jika selalu disuguhi dengan prasangka. Bagaimana menghadirkan percaya jika lubang dalam kayu masih terbuka. Bagaimana menghadirkan senyuman dalam kerapuhan?  Segala tanya dijawab, belum adanya kedewasaan dan kebijaksanaan. Ingatlah bahwa ta...

Chandikala

 Chandik kala, tertemukan kedamaian dalam ratapan diam. Perlahan memudar seiring datangnya malam. Menghilang tak berarti pesonanya tenggelam. Pamitnya ia di awal malam, aku paham. Akan hadir kembali jika mentari kan tenggelam. Tidak, tidak menentu. Lihat langit, apakah ada awan dengan cerita kelam. Cerita kelam mengundang gemuruh di luar. Gemuruh di luar terdengar menakutkan tetapi senyapnya di dalam lebih memekikkan.  Seolah senyuman padahal kesakitan.

Ramadhan

 Syakira punya cerita hari ini,   Pukul 03:40 aku dibangunkan oleh teriakannya memanggil nama masing - masing dari kita. Burger, menu sahur pertamaku sesuai permintaan anak terakhirnya. Burger dan segelas air putih cukup mengenyangkan ternyata.  Sekilas teringat bulan Ramadhan ketika masih di kampung halaman. Marimas, Pop Ice, Segar Sari, Finto, dan kawan-kawannya tak pernah ketinggalan dalam menu berbuka. Setengah jam menuju berbuka aku dan kedua kakakku sibuk memecah es, menyeduh minuman serbuk masing-masing dan mengambil nasi beserta lauk pauk. Jadi ketika bedug terdengar, langsung tancap gas!. Semua dilahap, jika terlalu kenyang dan kecanduan sinetron Ramadhan, tarawih jadi korban, astaghfirulloh.  Di sekitaran masjid bocil-bocil menakut-nakuti orang yang lewat  dengan melempari petasan. Ohya ga cuma petasan, pernah aku ditakut2ti dengan pocong-pocongan yang mereka buat dari kertas. Hiks, langsunglah, pocongnya aku robek2, ahahahahha salah sasaran merek...

Awan

 Baring dalam lamunan, mengawasi setiap pergerakan awan. Seolah ia berubah bentuk menjadi istana dengan gerakan kecil tangan. Sejuta mimpi, tiada batasan dan ketakutan. Sedetik terbangun, sedetik kemudian lenyap tergantikan. Tiada ambisi hanya permainan. Tidak kehilangan semangat setelah kegagalan, tak kehilangan kepercayaan setelah kekecewaan, tak mengundang kebencian setelah penghianatan. 

Suara Rasa

Ada yang tak bisa mendengar suara rasa dengan sebuah kata. Butuh rangkaian kata indah tapi tanpa gundah. Tapi sayangnya, setiap raga punya caranya sendiri dalam menyampaikan makna. Tak bisa memilih, naluriah, alam bawah sadar yang bekerja. Tak ada yang salah, hanya saja perlu waktu untuk menyelami apa yang sebenarnya ingin disampaikan. Ketika itu, taburan bintang tak terlihat indah karena lensa  beruap sepi dalam kabut dingin. Hingga akhirnya, aku menunggu uap itu hilang sampai tak sadar, bintang itu tlah tergantikan mentari. Seharusnya sama indahnya, namun aku menyukai bintang yang mampu menghangatkan jiwa pada dinginnya malam. 

Kemana Logika?

Hembusan angin sebelum hujan menyejukkan segala gelisah.  Angin yang bergerak tanpa logika memanggil resah.  Masih bertanya, kemanakah keberadaan logika?  Apakah ia bersembunyi karena percaya bahwa tak ada jiwa yang resah ? Mengapa logika tak bekerja ketika angin sedang memporakporanda sukma. Andai bisa kembali singgah di masa itu, hanya akan  kuijinkan ia bergerak bersama logika.  Akan selalu kupastikan setiap gerakkannya tak cederai rasa.