Karat

 Kayu, di samping rumah, ditancapkan atau tertancapkan paku. Waktu, menyesakkan, mematikan. Dihujani kesenyapan, terpapar segala prasangka dalam karat. 


Semesta membantunya, paku itu tercabut. Tapi tersisa lubang dan karat. Beritahu padaku bagaimana mengembalikan kayu itu seperti semula? Ia kehilangan kepercayaan kepada segala mata, tak hanya kepada tangan yang  menggenggam palu. 


Entah, apa ini bentuk sangkalan dalam penerimaan. Masih tersisa ketakutan, apakah ia kan memaku kayu itu kembali? Lagi, ini adalah prasangka yang mulai terbangun. Semesta pun tau, tangan itu tak lagi menggengam palu. Tangannya tlah lembut menyapu segala luka. Tapi lubang dan karat itu terus menggali segala prasangka. 


Bagaimana hendak melangkah jika selalu disuguhi dengan prasangka. Bagaimana menghadirkan percaya jika lubang dalam kayu masih terbuka. Bagaimana menghadirkan senyuman dalam kerapuhan? 


Segala tanya dijawab, belum adanya kedewasaan dan kebijaksanaan. Ingatlah bahwa tak selamanya memaku adalah hal yang buruk. Pagar kayu tanpa dipaku, tak akan pernah tersusun. Semesta tanpa hujan, tak kan tumbuh kehidupan. Paku dalam kayu dan berkarat adalah sebuah kewajaran dan pembelajaran. Karat yang timbul harus diterima dan dipikirkan apa maksud yang ingin disampaikan. Tak peduli siapa dan  seberapa banyak yang akan tetap bertahan setelah karat, tetapi yang bertahan merekalah  yang ditakdirkan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perawatan Gigi di RSGM FKGUI

Pengalaman Rekrutment di PT Lion Super Indo

Pengalaman Magang di PT Perkebunan Nusantara VIII